Termasuk mereka yang masih menunggu penetapan KPU, Jawa Timur (Jatim) kini menjadi provinsi dengan jumlah pemimpin perempuan terbanyak. Perhatian pada detail dan berbagai terobosan yang menyasar kaum hawa menjadi kekuatan mereka.
UMI Salamah masih mengenang dengan haru apa yang dialaminya belum lama berselang itu. Saat ketua Perkumpulan Disabilitas Kabupaten Kediri tersebut pergi ke Jakarta untuk menerima piagam penghargaan.
"Begitu tahu saya berangkat ke Jakarta untuk menerima piagam penghargaan, Bu Haryanti langsung mengirim sopir untuk menjemput," ujarnya kepada Jawa Pos Radar Kediri. Haryanti yang dia maksud adalah Bupati Kediri Haryanti Sutrisno. Ketika Umi mendapat undangan ke Australia dalam kiprahnya sebagai aktivis penyandang disabilitas, bupati dua periode itu juga menanyakan dengan detail rencana kepergiannya tersebut. "Seumur-umur, baru kali ini ada pejabat yang peduli sama saya," ucap Umi yang sejak kecil mengalami kelumpuhan di kakinya.
Dalam suatu acara, perempuan kelahiran Malang, 7 Agustus 1948, yang dikenal disiplin soal waktu itu juga pernah sampai mengecek menu makanan untuk para veteran. Begitu tahu kalau biasanya hanya nasi kotak, Haryanti meminta menu diganti prasmanan dengan aneka pilihan menu istimewa.
Di Bojonegoro, Anna Muawanah memang belum resmi menjabat bupati. Sebab, keunggulannya baru diketahui di quick count dan real count. Tapi, seperti juga Haryanti, perhatiannya pada hal-hal yang mungkin terlihat "kecil" -tapi sejatinya penting- itu sudah terlihat.
Misalnya, alumnus Asrama Putri Ponpes Darul Ulum Jombang tersebut berangan-angan kelak di kantor-kantor ada ruang untuk anak. Dengan demikian, para pekerja atau karyawan yang bekerja bisa sambil merawat buah hati mereka. "Tentang gizi anak di Bojonegoro juga menjadi perhatian saya," ujar mantan anggota DPR yang berpasangan dengan Budi Irawanto tersebut kepada Jawa Radar Bojonegoro.
Itukah yang membuat mereka mendapat simpati rakyat? Yang pasti, Haryanti dan Anna adalah bagian dari sepuluh pemimpin perempuan di seantero Jatim. Lima di antaranya merupakan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 27 Juni lalu. Termasuk di dalamnya Gubernur terpilih Khofifah Indar Parawansa.
Lima figur tersebut memang belum resmi disahkan sebagai pemenang. Tapi, mereka unggul dalam berbagai quick count dan real count hingga tadi malam WIB.
Jika hasil resmi KPU kelak sama dengan berbagai hasil quick count dan real count itu, tokoh perempuan memenangi setidaknya 25 persen dari 19 pilkada yang berlangsung di Jatim. Terdiri atas 1 gubernur, 1 wali kota, dan 3 bupati. Dari tiga bupati itu, salah satunya merupakan petahana, yakni Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari.
Selain Khofifah dan Tantri (sapaan Puput Tantriana Sari), tiga tokoh perempuan lain yang saat ini unggul dalam quick count maupun real count pilkada di Jatim adalah Ika Puspitasari dalam pilwali Mojokerto, Mundjidah Wahab di pilbup Jombang, dan Anna Muawanah (pilbup Bojonegoro).
Gelombang kepemimpinan perempuan di Jatim itu diawali Haryanti Sutrisno dan Tri Rismaharini pada 2010. Kini Jatim menjadi provinsi dengan pemimpin perempuan terbanyak dari sisi jumlah. Di bawahnya ada Jawa Barat dengan lima pemimpin perempuan, disusul Banten dan Jawa Tengah dengan empat pemimpin perempuan. Namun, dari sisi persentase, Banten yang tertinggi karena separo atau 50 persen dari delapan kabupaten/kota di provinsi tersebut dipimpin kaum hawa. Sementara persentase pemimpin perempuan di Jatim sebanyak 25 persen.
Beberapa pemimpin perempuan di Jatim bahkan sudah terpilih lagi untuk kali kedua. Mereka adalah Tri Rismaharini di Surabaya, Haryanti Sutrisno di Kabupaten Kediri, dan terakhir adalah Tantri yang baru saja menang di Kabupaten Probolinggo.
Perhatian pada detail, yang mungkin terlihat "remeh-temeh" tapi sejatinya menyentuh, barangkali termasuk kekuatan para srikandi pemimpin itu. Juga telah dan bakal mewarnai masa pemerintahan mereka. Selain itu porsi perhatian yang besar pada kaum hawa sebagai penopang perekonomian keluarga.
Haryanti, misalnya, mengandalkan program ketahanan pangan di wilayahnya. Fokus utamanya adalah memastikan stok pangan untuk masyarakat Kediri tetap stabil, baik jumlah maupun harganya. Sedangkan Tantri di periode pertama kepemimpinannya terus mendorong dan memfasilitasi setiap wilayah untuk memiliki produk unggulan. Alhasil, angka kemiskinan pun turun.
Guru besar sosiologi gender Universitas Airlangga Surabaya Prof Emy Susanti Hendrarso menjelaskan, fenomena keterpilihan perempuan tidak lepas dari kesadaran politik di kalangan pemilih perempuan. Sehingga yang tadinya apolitis menjadi merasa perlu ikut serta dalam proses politik. "Karena dia ingin ikut memengaruhi kebijakan yang menguntungkan juga bagi perempuan," ucapnya kepada Jawa Pos kemarin (30/6).
Senada dengan Emy, Khofifah menyebut bahwa para pemilih sekarang kian rasional. Mereka sangat melek terhadap program para kandidat. Untuk itu, begitu resmi menjabat kelak, salah satu yang cukup mendesak dilakukan ialah pemberdayaan perempuan. "Dan perlu dicatat, di sektor ekonomi, Jatim sangat terkenal dengan kopwan (koperasi wanita, Red)-nya. Ini yang harus dikembangkan agar makin luas," tuturnya.
Khofifah sangat mengimpikan kopwan jadi role model. Kaum perempuan di Jatim bisa ikut terlibat dalam koperasi itu. "Keberadaan kopwan bisa mengurangi praktik rentenir. Kasihan masyarakat miskin jika terkena rente. Bukannya mendapat solusi, tapi darahnya makin terisap," katanya.
Selain itu, problem yang perlu segera dicarikan solusi di Jatim adalah soal tingginya angka kematian ibu (AKI). Karena itu, dia telah menyiapkan program pemeriksaan ibu hamil minimal 4-5 kali selama masa kehamilan.
Di Jember, Bupati Faida juga melakukan berbagai terobosan program ramah perempuan dan anak. Misalnya, bupati yang juga dokter tersebut mulai merencanakan bursa kerja khusus perempuan dan difabel.
Faida mengakui, setiap tahun selalu ada job fair di Kabupaten Jember. Namun, selama itu pula, belum pernah ada yang spesifik terkait potensi dan peluang kerja untuk perempuan.
"Padahal, perempuan memiliki potensi dan peluang yang istimewa," katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.
Mundjidah Wahab selama masih menjabat wakil bupati Jombang juga telah menjalankan banyak program yang menyasar ibu-ibu maupun perempuan secara keseluruhan di Jombang. Misalnya melakukan pelatihan tata rias atau tata boga yang bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) Jombang. Termasuk pendampingan dan pembelajaran hukum bagi perempuan.
"Alhamdulillah, pemerintah menyambut positif saat saya mengajukan program-program yang memperjuangkan hak-hak perempuan di Jombang seperti pelatihan menjahit, tata rias, dan sebagainya. Dan rupanya hal itu disambut masyarakat dengan respons positif," katanya kepada Jawa Pos Radar Jombang.
Ika Puspitasari yang unggul dalam penghitungan sementara di Kota Mojokerto pun demikian. Bakal menjadikan pemberdayaan perempuan sebagai prioritas. Terutama untuk mengatasi tingginya angka pengangguran. "Kita punya banyak aset yang bisa dimanfaatkan untuk pasar rakyat dan menjadi lahan pekerjaan baru bagi kalangan perempuan," tuturnya kepada Jawa Pos Radar Mojokerto.
Tapi, menurut Emy, pengaruh tawaran program itu sejatinya tidak signifikan jika dibandingkan dengan dua faktor lainnya: jaringan dan kapabilitas. "Kalau jaringan perempuan bisa solid, dia bisa merebut kekuasaan," ujarnya. "Sebab, kekuatan jaringan perempuan ada pada moral, bukan hanya karena fisik dan uang," imbuh dia.
Meskipun demikian, kekuatan jaringan tidak lantas membuat perempuan asal memilih. Bukan karena calonnya adalah perempuan, lalu para pemilih perempuan sudah pasti akan memilih dia. Bila latar belakang politik dan ideologinya berbeda, belum tentu juga pemilih perempuan itu memilih sesamanya.
(*/bin/rul/ras/c9/ttg)
https://www.jawapos.com/read/2018/07/01/224249/gelombang-pasang-perempuan-pemimpin-di-jawa-timur
0 Response to "Gelombang Pasang Perempuan Pemimpin di Jawa Timur"
Posting Komentar