JawaPos.com - Faida mengibaratkan jabatannya sebagai bupati itu seperti ibu rumah tangga yang tahu persis ada tikus-tikus di dalam rumah. Jika itu dibiarkan, keluarga akan terganggu.
"Karena kita sayang sama keluarga, sayang sama rakyat, kita tiada ampun untuk pungli dan korupsi," katanya kepada Jawa Pos Radar Jember. Perumpamaan itu dilontarkan untuk menggambarkan keberaniannya mengambil tindakan tegas untuk memberantas korupsi. Yang sekaligus menghapus stigma seakan-akan pemimpin perempuan tak bisa tegas.
"Sebulan ini saja, ada lima kasus berbeda yang berujung pencopotan pejabat hingga pemecatan ASN (aparatur sipil negara)," katanya.
Kritik, atau lebih tepatnya pandangan miring, yang mengarah ke pemimpin perempuan selama ini memang pada ketegasan. Seakan-akan semua pemimpin lelaki itu pasti tegas. Dan, seakan-akan semua pemimpin perempuan itu bakal ewuh pakewuh.
Di Kabupaten Kediri, Bupati Haryanti Sutrisno juga tak sekali dua kali mendengar bahwa dirinya hanya akan manut sang suami Sutrisno yang merupakan pendahulunya. Dan, tidak akan bisa menjalankan pemerintahan sendiri.
Haryanti mengaku dirinya memang melihat suaminya mumpuni di bidang politik. Karena itu, untuk urusan tersebut, dia sering konsultasi dan percaya dengan masukan mantan bupati Kediri itu. "Saya percaya dengan suami karena mana ada sih suami menjerumuskan istri," tegasnya.
Hanya, untuk urusan lainnya, dia memastikan berjalan sendiri dan mandiri. "Sangat jarang tanya suami," terangnya kepada Jawa Pos Radar Kediri.
Bagi Faida, Haryanti, dan para pemimpin perempuan di Jatim lainnya, mereka terjun ke dunia yang sekarang karena merasa mampu. Bukan cuma semata karena mereka perempuan dan memanfaatkan status itu untuk mengeruk simpati.
Anna Mu'awanah dan Mundjidah Wahab malah sudah merintis karir di politik dengan belajar berorganisasi sejak belia. Kandidat yang unggul dalam penghitungan sementara pemilihan bupati Bojonegoro itu terlibat dalam organisasi kepemudaan sejak masih duduk MTs dan MAN. Yakni, di Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU). "Saya sejak masih sekolah sudah aktif di organisasi," katanya.
Mundjidah yang unggul dalam penghitungan sementara pilbup Jombang tercatat, antara lain, pernah menjadi bendahara KAPPI Jombang 1966-1967, ketua II PC Fatayat NU Jombang 1969-1972, dan ketua PC Fatayat NU Jombang 1978-1983.
Tak seperti Anna, Ika Puspitasari memang tak dididik menjadi politikus oleh orang tuanya. Dia malah disiapkan untuk meneruskan perusahaan keluarga.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Ning Ita -panggilan Ika Puspitasari- terpaksa terjun ke dunia politik karena mengaca pada jejak rekam ayahnya, Ja'faril. Di usia yang masih muda, ayahnya mampu menjadi kepala desa. Saat itu tujuan bapaknya bukan karena haus kekuasaan. Melainkan, keprihatinannya terhadap perekonomian masyarakat.
"Akhirnya, dengan kepemimpinan bapak, banyak warga desa yang merasa sangat terbantu," jelas adik Bupati Mojokerto (nonaktif) Mustafa Kemal Pasa itu.
Baik Ita di Mojokerto maupun Mundjidah di Jombang, keduanya sama-sama sadar, sudah banyak pemimpin perempuan yang terjegal kasus korupsi. Itu menjadi pelajaran bagi mereka untuk selalu menjalankan manajemen pemerintahan yang bersih dan transparan.
"Intinya, harus tetap mampu memiliki manajemen yang bagus. Dan, didukung struktural OPD (organisasi perangkat daerah) yang mumpuni," kata Ning Ita.
(rus/ras/ang/bin/dea/c10/ttg)
https://www.jawapos.com/read/2018/07/01/224254/perempuan-jadi-pemimpinan-itu-ibarat-ibu-rumah-tangga-lawan-tikus
0 Response to "Perempuan Jadi Pemimpinan itu Ibarat Ibu Rumah Tangga Lawan Tikus"
Posting Komentar