JawaPos.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mempertanyakan komitmen Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly terhadap pemberantasan korupsi. Hal itu menyusul keengganan Yasonna menandatangani Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang syarat calon anggota legislatif di Pileg 2019.
Dalam rancangan PKPU tersebut, KPU memasukkan poin, calon anggota legislatif bukanlah mantan narapidana kasus korupsi. Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan, sikap Yasona itu betul-betul tidak menunjukkan komitmen pemerintah mendorong parlemen yang bersih.
"Dengan sikap tersebut sesungguhnya pemerintah juga menunjukkan bagaimana komitmennya terhadap pemberantasan korupsi," ujar Lucius dalam ketarangan tertulis yang diterima JawaPos.com, Selasa (5/6).
Menurut Lucius, salah satu alasan hingga kini praktik korupsi masih terus terjadi yaitu sikap para elit baik DPR maupun pemerintah yang masih permisif. Dia pun melihat, pernyataan antikorupsi yang kerap dilontarkan para menteri bahkan presiden, hanya sebatas slogan.
"Karena mereka sesungguhnya tak pernah benar-benar antikorupsi," katanya.
Mengenai penolakan Yasonna, Lucius berpendapat semestinya hal itu tidak dilakukan. Yasonna bisa dianggap menghambat proses tahapan penyelenggaraan pemilu, jika terus menggantung regulasi yang dibuat KPU.
Di sisi lain, dia menegaskan, Kemenkumham bukanlah institusi yang berwenang menilai sesuai atau tidaknya PKPU yang dibuat KPU sesuai dengan Undang-undang. Menurut Lucius, Yasonna tidak bisa menggunakan alasan itu untuk tidak menandatangani PKPU terkait larangan eks-narapidana kasus korupsi jadi calrg..
"Yang bisa menilai pelanggaran dari PKPU yang dibuat KPU adalah Mahkamah Agung, (itupun) jika ada pihak yang mengajukan gugatan," tegasnya.
Lucius memandang, ancaman Yasonna untuk tidak meneken PKPU bisa dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap KPU. Ini jelas bertentangan dengan prinsip kerja KPU yang mandiri dan independen sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
Selain itu, ancaman Yasonna untuk tidak meneken PKPU bisa memunculkan kritik dari publik. Pasalnya, publik menginginkan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas dan bersih. Namun, malah dibunuh oleh menteri yang cenderung otoriter.
"Penolakan terhadap mantan napi koruptor adalah suara mayoritas warga negara atau pemilih yang sudah jengah melihat tingkah polah pejabat, baik di eksekutif maupun legislatif yang tak kenal henti melakukan korupsi," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Lucius, sikap tegas sejak awal seperti melalui syarat pencalonan anggota legislatif sangat penting guna menghasilkan wakil rakyat yang bersih.
Sebelumnya, Yasonna enggan mendatangani PKPU mengenai larangan eks-narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Menurut Yasonna, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tidak mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg.
"Jadi, nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentengan dengan UU," ujar Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Senin (4/6).
Menurut Yasonna, syarat yang dibuat lembaga pimpinan Arief Budiman itu baik. Namun, dia menegaskan, syarat itu menjadi aneh jika bertentangan dengan payung hukum di atasnya.
(gwn/JPC)
https://www.jawapos.com/read/2018/06/05/218044/formappi-pertanyakan-komitmen-menkumham-soal-pemberantasan-korupsi
0 Response to "Formappi Pertanyakan Komitmen Menkumham soal Pemberantasan Korupsi"
Posting Komentar