JawaPos.com - Satu hal yang membuat saya bersyukur ketika mendapatkan tugas meliput ajang akbar olahraga di kota-kota besar dunia adalah saya bisa jalan-jalan. Ya, berjalan dalam arti seungguhnya. Selama berminggu-minggu, dalam jarak puluhan kilometer.
Jujur saja, bisa berjalan-jalan di kota-kota Indonesia adalah sebuah kemewahan. Area pedestriannya ada, tetapi semampunya. Terkesan cuma mengugurkan kewajiban agar bisa disebut sebagai kota beradab.
Di Surabaya, terutama di jalan-jalan besar utama, kawasan pejalan kakinya sudah cukup ideal. Lebar, bersih, rindang. Tetapi rasanya, berjalan kaki bukan pilihan yang menarik. Seperti tidak ada tujuan yang jelas mau ke mana. Dalam 10 tahun terakhir, saya hanya pernah sekali jalan dari kantor ke mal terdekat. Jaraknya lebih kurang cuma 1,5 kilometer. Itupun pulangnya hampir diserempet motor ugal-ugalan yang naik ke atas trotoar.
Nah di Moskow ini, dalam sehari saya bisa berjalan sekitar lima kilometer. Pernah, total sampai tujuh kilometer. Berjalan-jalan di kota seperti Moskow sangat nyaman. Pertama, tentu saja karena jalanannya sangat lebar, kira-kira enam sampai delapan meter. Kedua, dalam bulan-bulan ini, udaranya segar. Tidak bikin menggigil walaupun angin kencang bisa membuat suhu turun sampai ke angka 10 derajat celcius.
Ketiga, dan yang paling penting adalah kita memiliki tujuan saat berjalan-jalan di Moskow. Kuncinya adalah karena semua terkoneksi. Misalnya, ketika saya ingin pergi ke Lapangan Merah (Krasnaya Ploshchad) dari apartemen tempat tinggal saya di kawasan Leningradsky Avenue. Hal pertama yang wajib saya temukan adalah mencari stasiun kereta api bawah tanah, The Moscow Metro.
Mengapa harus naik kereta api? Karena murah. Tapi cepat dan efisien. Sekali jalan, kita hanya perlu mengeluarkan uang RUB 38 atau sekitar Rp 8.000 untuk jarak dekat ataupun jauh. Bandingkan dengan naik taksi online yang bisa menembus RUB 350 ruble atau setara Rp 78 ribu dari apartemen ke Lapangan Merah.
Dengan begitu, saya harus jalan kaki untuk mencari stasiun metro yang terdekat yakni Dinamo. Karena letak stasiun itu berada di seberang, saya harus melintasi jalan dengan naik turun tangga underground crosswalk.
Setelah itu, harus jalan lagi menuju rel, naik kereta, lalu turun di Stasiun Teatralnaya. Waktu yang dibutuhkan hanya 12 menit. Kalau naik taksi, bisa memakan tempo 30 menit. Dari stasiun, saya jalan lagi ke Lapangan Merah. Nyaman sekali. Apalagi kalau banyak temannya, nggak capek.
Dari yang saya dengar, orang Rusia suka jalan kaki. Mau jarak empat, lima kilometer sekali jalan, ya hajar saja. Kecepatannya juga tinggi dan terlihat penuh vitalitas. Entah itu lelaki, perempuan, muda, atau paro baya, semuanya tampak sehat dan bersemangat. Senang melihatnya.
Moscow dengan menggendong tas berisi laptop, punggung saya amat sakit. Padahal jarak yang saya tempuh paling -paling hanya lebih kurang tiga kilometer. Pernah suatu kali saya jongkok dan bersandar di tembok stasiun bawah tanah karena nyeri punggung yang tak tertahankan (maklum, faktor U ya...)
Saya memang manusia lemah. Mungkin karena manja. Penelitian Universitas Stanford tahun lalu sangat akurat. Indonesia adalah negeri paling buncit dalam soal jalan kaki. Rata-rata manusia Indonesia hanya menempuh 3.513 langkah perhari. Rusia tentu saja berada di papan atas dengan rata-rata 6.000 langkah setiap harinya.
Namun, yang bikin saya jengkel adalah kesimpulan penelitian tersebut yang mengatakan dengan sadis bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas. Padahal, kondisilah yang memaksa kita menjadi malas. Mau jalan di trotoar, tapi kita seolah tak memiliki tujuan. Kalaupun ada, jalan kaki bukan opsi yang menarik. Area pedesteriannya kebanyakan sempit, jorok, banyak pedagang kaki lima. Belum lagi sering rebutan dengan motor, atau terganggu pohon plastik #eh.
Karena sebab-sebab itulah, saya lalu menjadi orang yang manja. Mau beli mi instan di warung perumahan yang jaraknya 100 meter saja harus naik motor. Jadi, selama 40 hari meliput Piala Dunia 2018 di Rusia, saya sudah bertekad memuaskan diri sehabis-habisnya dengan berjalan kaki. Walau kaki gempor, meski rumatik kumat, saya akan menikmatinya. Karena sebenarnya, jalan kaki itu nikmat, kamerad!
(ainur rohman)
https://www.jawapos.com/read/2018/06/15/220538/jalan-kaki-itu-nikmat-kamerad
0 Response to "Jalan Kaki Itu Nikmat, Kamerad!"
Posting Komentar