Ekonom dari Institute of Development on Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudistira mengatakan, BI memang telah menaikkan suku bunga dari 4,25 persen menjadi 4,5 persen pada Kamis (17/5). Sayangnya respon BI menaikkan suku bunga terlambat sehingga tidak berdampak.
“Respon BI agak terlambat dan hanya naik 25 bps bukan 50 bps,” jelas Bhima kepada Jawapos.com, Senin (21/5).
Bhima menilai sebelumnya investor sudah melakukan antisipasi kebijakan bunga acuan ke harga saham. Efek kenaikan bunga acuan juga tidak bisa menahan besarnya tekanan global. “Salah satunya yield spread antara treasury bills 10 tahun dan SBN makin lebar,” tuturnya.
Yield Treasury dengan tenor 10 tahun naik cukup signifikan menjadi 3,11 persen sementara SBN ditenor yang sama saat ini sebesar 7,3 persen. Ada spread 419 basis poin. Lebarnya perbedaan yield menjadi indikasi investor cenderung melepas kepemilikan SBN.
Faktor lainnya adalah Dolar Index yang terus mengalami kenaikan dalam satu bulan terakhir menjadi 93,4. Dolar Index merupakan perbandingan kurs dolar AS dengan enam mata uang paling dominan di dunia.
“Jika dolar index naik artinya secara rata-rata mata uang dolar semakin perkasa,” tuturnya.
Di sisi lain, investor juga masih mencermati data ekonomi Global seperti laporan klaim pengangguran dan data manufaktur AS. Hal ini untuk menentukan arah kenaikan bunga acuan fed rate berikutnya, khususnya bulan Juni mendatang di rapat FOMC. Sementara, laporan Beige Book yang dirilis Goldman Sachs juga mengungkap kekhawatiran para investor terkait perang dagang AS-China.
“Alhasil dalam satu minggu terakhir investor asing masih melakukan net sales atau penjualan bersih saham Rp 3,2 triliun,” terangnya.
(uji/JPC)
0 Response to "Rupiah Masih Loyo Meski BI Dongkrak Suku Bunga Acuan, Ini Penyebannya"
Posting Komentar