
Nathea Citra Suri, Mataram
Sejak Magrib, suasana Taman Budaya NTB terlihat ramai. Ratusan orang berbagai usia tampak memenuhi halaman gedung teater utama. Ada yang membawa lilin. Membawa kamera. Ada juga yang sibuk bercengkrama dengan sanak saudara.
Mereka menunggu dua buah pintu berukuran besar yang menyangga ruangan teater utama itu terbuka. Ada warga Kota Mataram, Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, KLU, sampai masyarakat dari pulau Sumbawa hadir.
“Kami ingin menyaksikan festival seni pertunjukan sekaligus berkumpul untuk mendoakan saudara-saudara kami yang gugur di Surabaya (aksi teroris) Minggu lalu,” kata Septia, salah satu warga Mataram pada Lombok Post (Jawa Pos Group), Senin malam (14/5).
Kedatangan Septia bersama rombongannya malam itu memang telah direncanakan jauh-jauh hari. Ia ingin menyaksikan para penari legenda asal Lombok Timur.
“Sejak minggu lalu kami sudah menantikan penampilan mereka. Sang legenda tari dari Pulau Lombok ini,” jelasnya sembari merangkul enam temannya sembari memasuki gedung teater yang dipenuhi ratusan kursi berbahan sofa warna merah darah.
Satu persatu para pecinta seni mencoba memasuki gedung teater. Ada yang berebutan untuk mencari kursi strategis. Ada juga yang masih sibuk merapikan sofa itu untuk diduduki.
Festival seni kali ini memang tampak berbeda. Bukan hanya mengusung seni-seni antar kabupaten, tapi para pecinta seni juga diajak berdiam diri. Yups, mereka berdoa sambil memegang lilin sembari melantunkan ayat-ayat suci dan doa-doa nan indah bagi korban teroris di Kota Surabaya.
“Kita sedang berduka, dan ini salah satu bentuk dukungan kemanusiaan bagi saudara-saudara kami yang tengah tertimpa musibah di Surabaya,” kata Faisal, Ketua Taman Budaya NTB, malam itu.
Usai lantunan ayat suci, dan doa-doa indah terdengar di seantero gedung teater utama malam itu. Lampu-lampu meredup dengan cepat, membuat para penonton mendadak terdiam.
Dung. Dang. Tung. Plang. Dung. Suara gamelan mulai menghiasi gedung gelap itu. Suaranya terdengar indah. Bak nyanyian para sinden Solo yang terdengar sangat lantang.
Di tengah merdunya gamelan, belasan sesepuh pria tampak membawa tombak dan pedang. Mereka tengah bertempur. Ya, para penari dari Desa Sembahulun Bumbung, Lombok Timur itu tengah melawan para roh-roh halus yang tengah mengganggu tanaman yang akan segera dipanen para petani.
“Mereka adalah legenda. Jauh-jauh datang ke sini untuk memperlihatkan tarian Tandang Mendet dari Sembahulun, Lombok Timur,” jelasnya.
Hingar bingar tampak memenuhi gedung yang berisikan ratusan pecinta seni itu. Ada yang terkesima, ada juga yang sibuk mendokumentasikan belasan penari yang tengah membawakan tari Tandang Mendet.
“Keren, walaupun sudah berumur (tua) mereka tampak luwes dan tentunya terlihat sangat semangat sekali membawakan tarian tradisional itu,” kata Sherli Utari, salah satu penonton usai menyaksikan pegelaran festival tari di Taman Budaya itu.
Sebagai generasi muda, perempuan 17 tahun itu berharap agar muda-mudi di Mataram dan sekitarnya tidak patah semangat untuk meneruskan kebudayaan asli daerah.
“Jangan sampai kalah dengan para penari-penari itu, ayo buktikan generasi milenial bisa lebih sukses saat membawakan tarian tradisional,” tandasnya.
(fab/jpg/JPC)
0 Response to "Tombak dan Pedang Jadi Senjata Andalan"
Posting Komentar