Menilik Proses Budidaya Langka Bunga Edelweis oleh Warga Tengger

JawaPos.com – Bagi sebagian orang yang suka berkegiatan alam bebas, pasti tidak asing dengan bunga abadi, edelweis. Karena keunikannya dan jarang ditemukan, maka tidak sedikit orang yang ingin membawanya pulang ketika mendaki gunung.

Namun siapa yang mengira, bunga endemik yang kerap dijumpai di ketinggian dan mempunyai nama latin Anaphalis javanica tersebut dapat dikembangbiakkan.

Edelweis pada umumnya memiliki kelopak bunga berwarna putih. Tumbuhan ini dapat mencapai ketinggian 8 meter dan dapat memiliki batang sebesar kaki manusia walaupun umumnya tidak melebihi 1 meter. Bunga-bunganya biasanya muncul di antara bulan April hingga Agustus.

Bunga Abadi Edelweis
Proses budidaya Edelweis bukanlah perkara mudah. Dari 1.000 benih yang ditanam, kira-kira hanya sekitar 300 benih saja yang berhasil tumbuh. (Fisca Tanjung/JawaPos.com)

Bagian-bagian edelweis pun sering dipetik dan dibawa turun dari gunung untuk alasan-alasan estetis dan spiritual, atau sekadar kenang-kenangan oleh para pendaki. Karena hal itu pula lah, tumbuhan tersebut kini termasuk dalam tumbuhan langka. 

Pasalnya, banyak warga lokal yang memperjualbelikannya kepada para wisatawan yang berkunjung ke kawasan pegunungan. Salah satunya di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur.

Populasi bunga ini pun semakin langka karena ulah para pendaki gunung yang tidak taat terhadap peraturan dengan memetik bunga sesuka hati. Padahal, Edelweis tengah menjadi perhatian utama pemerintah dan dilindungi oleh undang-undang.

Bahkan, Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) telah mengeluarkan larangan bagi siapapun yang dengan sengaja memetik dan membawa pulang bunga edelweis. Sanksi itu salah satunya telah dirasakan oleh seorang pendaki asal Desa Banaran, Kecamatan Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur. Dia dilarang mendaki Gunung Semeru seumur hidup karena memetik bunga edelweis.

Melihat hal itu, masyarakat Suku Tengger di lereng Gunung Bromo kemudian tengah berupaya untuk membudidayakan Edelweis. Salah satunya dilakukan oleh masyarakat di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Wartawan JawaPos.com pun berkesempatan untuk melihat langsung budidaya edelweis yang dilakukan oleh masyarakat suku tengger tersebut dalam kegiatan bertajuk Media Live In yang diselenggarakan oleh salah satu pabrik air mineral kemasan, Aqua. Kegiatan sendiri dilakukan selama dua hari yakni pada tanggal 7-8 Juni 2018. 

Aqua sendiri ikut berkontribusi dalam konservasi edelweis yang dilakukan di Dusun Wonomerto tersebut. 

Salah satu penggagas budidaya Edelweis, Kariadi, 45, mengatakan, langkah budidaya ini dilakukan untuk melestarikan Edelweis. Pasalnya, bunga ini juga selalu dijadikan bahan sesaji di setiap upacara adat istiadat, seperti Leliwet, Kasada, Unan-Unan dan lain-lain.

"Bunganya dipakai untuk upacara. Biasanya didampingkan dengan daun putihan, daun derebah, daun telotok, daun pohon pampung, dan daun andong," ujarnya. 

Kariadi menyampaikan, budidaya edelweis di Wonomerto sudah dilakukan sejak tahun 2014 lalu. Dia menambahkan, meskipun Tosari bukan merupakan desa penyangga TNBTS, namun pihaknya mempunyai kepedulian untuk melestarikan dan membudidayakan edelweis

Menurutnya, hal itu merupakan sebuah langkah tepat agar masyarakat dapat menggunakan Edelweis tanpa berbenturan dengan hukum.

Ketika itu, Kariadi membentuk kelompok desa bernama Komunitas Bala Daun. Mereka kemudian menggandeng Yayasan Satu Daun yang merupakan mitra dari PT Tirta Investama (Aqua) Pabrik Keboncandi untuk membudidayakan Edelweis.

Pembudidayaan edelweis itu pun awalnya tidak berjalan dengan mulus. "Awal-awal kami menanam di pinggir jalan, besoknya selalu hilang. Saya tanam lagi, hilang lagi. Akhirnya kami meminta bantuan anggota Koramil setempat," kenang pria  yang juga menjadi Ketua Komunitas Bala Daun ini.

Saat itu, Kariadi juga melakukan budidaya dengan biaya sendiri. "Sebelumnya dana swadaya, polybag sendiri," kata dia.

Budidaya Edelweis ini juga bukan perkara mudah. Pasalnya, terdapat beberapa proses yang harus dilalui serta memakan waktu yang cukup lama. Mulai dari masa pembibitan, penyemaian, hingga panen memerlukan waktu selama hampir dua tahun. "Satu tahun sekali berbunganya, panen juga satu tahun sekali," jelasnya. 

Bahkan, dari 1.000 benih Edelweis yang ditanam, kira-kira hanya sekitar 300 benih saja yang berhasil tumbuh. Selama ini, Kariadi bersama anggota Bala Daun melakukan budidaya edelweis di lahan seluas 500 meter persegi. 

Namun berkat kerja keras dari sejumlah pihak, sekitar 500 tanaman Edelweis pun saat ini telah tertanam di beberapa daerah di desa tersebut. Selain itu, pada tahun ini rencananya sebanyak 3.000 benih Edelweis bakal ditanam kembali di pinggir jalan desa.

"Yayasan Satu Daun sangat membantu kami dalam budidaya Edelweis. Dulu kami pembiayaan sendiri, bibit juga cari sendiri. Kini kami mendapatkan bantuan," ungkap bapak satu anak ini.

Kariadi mengatakan, karena budidaya tersebut, juga turut membantu perekonomian warga sekitar. Pasalnya, untuk satu ikat bunga edelweis, bisa dihargai antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. 

Kariadi berharap, budidaya Edelweis ini nantinya dapat memunculkan sektor pariwisata baru berwawasan lingkungan. Sehingga, masyarakat desa dapat meningkatkan taraf ekonomi lewat pengelolaan kawasan konservasi tersebut.

(fis/JPC)

Let's block ads! (Why?)

https://www.jawapos.com/read/2018/06/09/219153/menilik-proses-budidaya-langka-bunga-edelweis-oleh-warga-tengger

0 Response to "Menilik Proses Budidaya Langka Bunga Edelweis oleh Warga Tengger"

Posting Komentar