Ditinggal Pendirinya, Sekolah Pinggir Kali Tak Henti Bawa Misi Mulia

SEKOLAH INFORMAL: Sunarsi, istri mendiang Agung Setya Budi Pendiri Komunitas Harapan saat ditemui di kediamannya, Rabu (2/5). (Tunggul Kumoro/JawaPos.com)

JawaPos.com – Melihat lingkungan sekitarnya yang keras dan dikelilingi miras dimana-mana, membuat almarhum Agung Setya Budi sibuk memutar otaknya. Ia berjuang keras agar anaknya kelak tidak bernasib sama seperti dirinya yang tumbuh dikelilingi pergaulan orang dewasa dan minuman keras.

Lingkungannya kecil, jelas menurutnya sangat tidak elok apabila digeluti oleh anaknya. Berawal dari pergolatan batin itulah, almarhum menginisiasi gerakan 'nekat' saat mendirikan sekolah informal Komunitas Harapan lima tahun lalu.

Agung memang telah tiada sejak 17 April 2018 silam. Namun semangatnya terlanjur membekas di hati saudara dan rekan-rekan terdekatnya. Adalah Sunarsi, istri mendiang Agung yang mengisahkan perjalanan Komunitas Harapan saat ditemui di kediamannya, Kampung Sumeneban 104, RT 03 RW 04 Kelurahan Kauman, Semarang.

"Jadi suami saya dulu itu kan asli sini, di lingkungan sekitaran pasar Johar itu dia cerita masa kecilnya lihat orang minum-minum (miras). Ya akhirnya dia ikut minum," ujar perempuan berusia 38 tahun itu.

Di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarganya, Sunarsi bercerita banyak, termasuk segala aktivitas di Komunitas Harapan itu. Dijelaskannya, sekolah informal dirian mendiang suaminya itu selama ini eksis dengan memfasilitasi anak-anak yang ingin mendapatkan ilmu lebih.

Sekolah Informal

Almarhum Agung Setya Budi saat mengisi salah satu kelas. (dok. Komunitas Harapan)

Aktif pada hari Kamis hingga Minggu, Komunitas Harapan menyediakan berbagai macam buku bacaan, mulai dari ilmu pengetahuan sampai buku cerita anak. Namun bukan hanya mata pelajaran mirip pendidikan formal yang diajarkan di bangunan yang berlokasi di bantaran Sungai Semarang itu.

"Kami ajarkan kreativitas di sini, seperti bagaimana membuat kerajinan dari barang bekas, ada bimbingan menari, mengaji juga. Suami saya pinginnya anak-anak itu di sini juga main, tapi terarah daripada main di sekitaran pasar bergaul dengan orang bukan sepantaran," sambungnya.

Untuk itu, tak jarang pihaknya mendatangkan tenaga pengajar mahasiswa dari sejumlah universitas di Semarang. Akan tetapi, lanjut Sunarsi, banyak juga yang datang ke tempatnya dengan maksud sukarela.

"Ada yang dari jurusan kedokteran misalnya. Membawa segala peralatan, mereka praktek sesuai tema. Dan masih banyak lagi, seperti kita bersama anak-anak diundang tour ke Akpol atau renang di Kodam," katanya lagi.

Walau begitu, menurut Sunarsi, perjalanan berdirinya Komunitas Harapan ini tak selalu indah. Dikatakannya, Agung pada saat mendirikan sekolah informal ini banyak mendapat tentangan dari warga sekitar. 

Bahkan, saat itu ada beberapa pihak menuduh Agung mendirikan Komunitas Harapan ini dengan maksud yang tidak-tidak. "Warga tahu kan kecilnya suami saya seperti apa, dikira anak-anak di sini mau dimanfaatkannya," ujarnya sambil merapikan buku-buku sumbangan yang belum sempat terpajang di rak.

Bagaimanapun niat Agung yang lulusan SMKN 10 atau STM Perkapalan itu terlanjur bulat. Sunarsi bercerita kala itu suaminya tak pernah peduli dengan omongan atau pandangan negatif warga sekitar. "Katanya, saya tak peduli yang penting itu tindakan. Itulah salah satu kenapa ia dipanggil Agung Nekat, yang kini ada juga nekaters-nekaters lain," terangnya.

Belum lagi kondisi yang menempatkan Agung menjadi harus berjalan dengan kaki palsunya, selepas amputasi akibat penyakit diabetes yang dideritanya sejak usia 34 tahun. Belum lagi penyakit gagal ginjal yang pada akhirnya harus merenggut nyawa Agung di usianya ke 42.

Kerap kali Sunarsi memandangi deretan piagam penghargaan terpampang di dinding rumahnya. Memang, belasan penghargaan terbingkai rapi tersebut menjadi bukti jerih payah Agung dan rekan-rekan untuk diakui khalayak luas.

"Sebenarnya kepinginan suami saya itu tidak banyak kok. Dia cuma ingin anak-anak sekitaran, termasuk putra-putrinya tumbuh jadi anak bertanggungjawab, punya sopan santun, dan hormat kepada orang tua," katanya.

Bukan hanya anak sekitaran Kampung Sumeneban yang pada akhirnya bergabung dengan Komunitas Harapan. Bahkan, anak-anak jalanan sekitaran Pasar Johar juga turut ditampung di sana. Beberapa di antaranya pun dibantu agar bisa bersekolah.

Selama lima tahun ini, tak kurang dari sekitar 70 anak terdiri dari berbagai kisaran usia tergabung dalam Komunitas Harapan. Ruang tamu rumah 8 meter x 4 meter yang awalnya digunakan sebagai tempat pembelajaran itu sekarang tak lagi muat hingga sering bagi kelompok ini menggunakan gedung serba guna kampung tak jauh dari lokasi.

"Ada beberapa yayasan juga yang bekerjasama dengan kami. Alhasil, beberapa dari anak didikan Komunitas Harapan mendapat beasiswa. Yang dilombakan juga ada," bebernya.

Mereka yang turun tangan mengurusi komunitas ini pun makin banyak. Salah satunya Mohammad Whizzkid Marhaenis, putra sulung Agung dan Sunarsi yang masih duduk di bangku kelas IX SMKN 5 Kota Semarang. Pria berusia 16 tahun itu kini mewarisi ilmu kerajinan tangan milik mendiang ayahnya.

Whizzkid bahkan kerap diundang ke acara-acara tertentu untuk memberikan pelatihan kerajinan tangan berbahan dasar barang bekas sama seperti ayahnya dulu. Hal itu menurut Sunarsi, sedikit banyak telah menggenapkan tekadnya meneruskan Komunitas Harapan meski tanpa keberadaan sang suami tercinta.

"Saya sempat goyah semenjak Mas Agung tiada. Ingin tidak saya teruskan karena selalu ingat mas Agung. Tapi saya diingatkan rekan-rekan almarhum, keinginan besar mendirikan komunitas ini. Tetangga-tetangga juga minta untuk dilanjutkan. Karena memang pendidikan tak hanya bisa diraih di sekolah juga tapi di mana pun bisa," tandasnya.

(gul/JPC)

Alur Cerita Berita

Rekomendasi Untuk Anda

Sponsored Content

loading...

Let's block ads! (Why?)

https://www.jawapos.com/read/2018/05/02/209182/ditinggal-pendirinya-sekolah-pinggir-kali-tak-henti-bawa-misi-mulia

0 Response to "Ditinggal Pendirinya, Sekolah Pinggir Kali Tak Henti Bawa Misi Mulia"

Posting Komentar