Melihat penampilannya, sulit dipercaya jika EG senang ngelem. Badannya subur, pipinya tembem, kulitnya putih bersih, dan rambut lurusnya dipangkas rapi. Penampilannya jauh dari kesan anak jalanan. Saat ditangkap petugas, dia menangis sekeras-kerasnya. Menyentak perempatan Jalan S Parman, Banjarmasin yang senyap selepas tengah malam.
EG dan teman-teman pengemis lainnya sedang duduk di troatoar dan median jalan. Menunggu pengendara yang dihentikan lampu merah. Melihat iring-iringan mobil Satpol PP, semuanya berhamburan untuk menyelamatkan diri.
Ada nenek yang sudah berusia 45 tahun, balita yang baru empat tahun, dan bocah-bocah seusia EG. Mereka diangkut ke truk dalmas untuk diantar ke Rumah Singgah milik Dinas Sosial di Jalan Gubernur Subarjo, Banjarmasin Selatan.
Di Rumah Singgah, EG sudah agak tenang. Tapi mendengar suara bentakan, dia kembali menangis. "Abah sudah meninggal. Mama masih ada. Tadi sudah bilang sama mama mau ke jalan," ujarnya sambil menyapu ingus sebagaimana dikutip dari Prokal (Jawa Pos Group), Sabtu (5/5).
EG dan ibunya tinggal di Jalan Belitung Darat. Berkat bantuan dermawan, dia hendak disekolahkan lagi. Sayang, sembari menunggu tahun ajaran baru dimulai, dia masih senang nongkrong di jalan. "Sudah dua tahun di jalan untuk meminta-minta," ujarnya.
Dia kemudian menunjuk saku kiri celana pendeknya. Di situlah dia menyembunyikan kaleng lem yang dibungkus kantong plastik. "Saya digoda teman untuk ngelem. Enak. Bisa mengkhayal macam-macam," kisahnya.
Ditanya apakah dia tidak mengetahui lem bisa meracuni pikiran dan tubuhnya, EG dengan polos menggelengkan kepala. Diminta berjanji untuk tidak lagi ngelem, dia malah kembali menangis. Bahu dan dadanya berguncang, ingusnya kembali meleleh.
Kisah EG tidak kalah fatal dengan kisah FR. Bocah 12 tahun ini masih sekolah, duduk di kelas VII SMP. Dia ditangkap saat menenggak minuman keras oplosan bersama teman-teman sebayanya.
Dari Jalan Pangeran Antasari, Satpol PP berkejar-kejaran dengan gerombolan ini sampai ke Jalan Pekapuran Raya. Hanya FR yang bisa dicegat. Yang lain berhasil kabur. "Ulun (saya) nih, kalau tidak ikut minum bakal dipukuli," ujarnya.
Meski tampak sudah sepenuhnya sadar, mulut FR masih menguarkan bau menyengat alkohol. Dia bersikeras tak pernah menyukai minuman tersebut. "Ulun tadi sampai muntah-muntah. Tapi tidak berani menolak. Mereka anak-anak geng sekitar," imbuhnya.
Paling memilukan kisah AP, anak perempuan yang usianya baru empat tahun. Dia tidak diancam oleh lem atau alkohol, tapi oleh angin malam yang jahat. Dia dibawa orang tuanya untuk ikut mengemis di jalan.
Pasangan suami istri ini bernama Syaifullah dan Sri Lestari. AP celingukan di Rumah Singgah dengan muka penasaran. Tak mengerti bahwa orang tuanya sedang menjalani interogasi. "Kalau Anda tak percaya ini anak saya, silakan tes darah," kata Syaifullah sembari menunjukkan lengannya.
Lelaki 21 tahun ini bekerja sebagai penarik gerobak sampah keliling di kawasan Belitung. Untuk menambah penghasilan, dia mengemis. Agar pengendara merasa iba, dia membawa serta anak dan istrinya. Sri berusia 19 tahun. "Saya memangnya punya pilihan lain?" ujarnya dengan ekspresi masa bodoh.
Kisah EG, FR, dan AP adalah fakta. Di kota yang mengklaim dirinya relijius, ramah anak, dan peduli hak asasi manusia.
(fab/jpg/JPC)
0 Response to "Kisah Pilu di Balik Razia Pekat Jelang Ramadan"
Posting Komentar