
Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abdul Rozaki mengatakan, merujuk pemikiran Murtadha Mutahhari (1990:34), perempuan bercadar itu memiliki asal usul dalam tradisi kepercayaan Persia Kuno. Sebagaimana tradisi agama Zardasyt, yang menganggap perempuan sebagai mahluk yang tidak suci.
"Karena itu diharuskan menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak mengotori api suci yang mereka sesembahan," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima JawaPos.com pada Kamis (8/3) pagi.
Budaya cadar kemudian berkembang di dalam masyarakat arab lainnya. Jejak sejarah sexisme, yakni diskriminasi atas dasar jenis kelamin dalam menghadap sesuatu yang bersifat adikodrati kemudian berkembang pula dalam relasi budaya lainnya. "Khususnya membuat mapan adanya kontrol atas tubuh perempuan melalui tafsir keagamaan patriarkis," tuturnya.
Efeknya, menurutnya luar biasa hingga kini, perempuan mengalami defisit eksistensial, karena tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Eksisistensinya harus disadarkan pada 'pungggung' suaminya atau atas nama keluarga besarnya.
"Di kalangan perempuan Arab, atau perempuan yang mengikuti tafsir keagamaan patriarki, perempuan tidak memiliki kebebasan keluar rumah tanpa muhrim atau suaminya. Nilai semacam ini ketika menjadi bagian dari ideologi negara, benar-benar menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas dua," ucapnya.
Beruntung budaya perempuan di Indonesia menganut konsep bilateral khinsip, perempuan memiliki hak menyandang nama atas dirinya sendiri tanpa harus bersandar atas nama suami atau keluarga. Hal ini membuat perempuan Indonesia lebih menikmati budaya egaliter dalam relasinya dengan laki-laki.
Perempuan Indonesia lebih memiliki kebebasan dan akses keadilan lainnya di ruang publik sebagai warga negara yang utuh.
"Nah disinilah titik soalnya, ketika UIN Sunan Kalijaga melakukan pengaturan terhadap mahasiswinya yang bercadar dianggap sebagai melanggar HAM? Tentu terasa aneh, karena dengan merujuk ulasan itu, justru budaya cadar itu jejak historisnya diskriminasi perempuan, budaya kontrol atas tubuh perempuan yang membelenggu kebebasannya," katanya.
Setiap institusi pendidikan, lanjutnya tentu punya nilai, norma yang ingin diperjuangkan sebagai cita-cita. Sementara UIN Sunan Kalijaga ingin mengembangkan nilai emansipasi, kesetaraan relasi perempuan dan laki-laki secara adil, sebagaimana ajaran dalam Islam.
"Banyak kajian menginformasikan pada kita, bahwa perempuan bercadar itu memiliki ragam motif, ada karena merasa panggilan syariah, ada yang karena dipaksa rezim politik keagamaan, ada pula yang karena mengikuti tren budaya populer yang tengah berkembang di masyarakat. Namun, kesemua itu tetap saja mencerminkan atau mempromosikan nilai-nilai konservatisme," pungkasnya.(dho/JPC)
(dho/JPC)
0 Response to "Ini Penilaian UIN Sunan Kaligaja Terkait Penggunaan Cadar"
Posting Komentar