Mendengar vonis hakim, Sally terkejut lalu air matanya tumpah. Bayangan kelam kamar penjara membuatnya cemas. Apalagi untuk Sally yang masih berusia 24 tahun. Hidupnya yang serba berkecukupan layaknya sosialita muda, tiba-tiba terperosok ke balik bui.
Lalu, bagaimana kehidupan Sally setelah 11 hari mendekam di Lembaga Pemasyakatan Kelas II-A Tarakan? Radar Tarakan (Jawa Pos Grup) menemui Sally yang berada di Blok C khusus tahanan wanita, beberapa waktu lalu.
Lapas Kelas II-A Tarakan sepintas nampak seperti sebuah perkampungan kecil, terdapat blok-blok. Jemuran para tahanan bergelantungan di sisi kanan. Beberapa tahanan terlihat mengisi waktu dengan menjahit, mencuci, memasak, hingga menjaga bayi kecilnya.
Di sana, terlihat Sally yang nampak lebih gemuk dari biasanya. Dari raut mukanya, Sally seperti sudah mulai beradaptasi dengan lingkungan Lapas. Dia nampak lebih bersemangat dan aktif ketimbang masa-masa pertama menjalani proses tahanan dan persidangan.
Sejak mendengar vonis dijatuhkan, Sally mengaku tak bisa tidur nyenyak. Frustasi, dan sempat sulit beradaptasi. Tinggal di bui benar-benar membuatnya tersiksa. Apalagi, pintu besi itu hanya dibuka dari 07.00 hingga 17.00 Wita.
“Selama ini kan bebas kapan pun bertemu orang, atau mau ke mana saja. Jalan bareng anak naik mobil. Bebas pakai handphone, atau WhatsApp dengan sahabat. Update status maupun live di Facebook kapan saja. Jadi pas masuk penjara, kaget. Nggak bisa ke mana-mana dan terbatas ruang geraknya,” ujar Sally, dikutip dari Radar Tarakan, Sabtu (17/3).
Ruang seluas 2x2,5 meter menjadi tempat tidur sekaligus buang hajat. Itu pun, ia harus berbagi dengan dua tahanan lain. “Jadi, kalau mau berak yah duduk di situ. Cuman disekat pintu kecil,” katanya.
“Orang berdiri pun bisa melihat kita sedang berak. Dan kali pertama itu saya tidak bisa buang air karena malu,” ucapnya sambil menunjuk ke kloset berukuran kecil.
Pertama menjadi penghuni Blok C, Sally mengaku sulit berteman dengan penghuni lain. Takut mengajak bicara sesama penghuni, apalagi sejak berita kasus dirinya mencuat ke permukaan.
“Mau sekadar kenalan saja saya takut. Mau ngobrol takut. Pokoknya serba salah. Sampai stres. Kayak orang gila saya di sini,” ujarnya dengan suara menahan tangis.
Butuh waktu lama bagi Sally untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang napi. Tapi, tak ada pilihan lain. Sally harus lebih aktif bersama dengan napi wanita lainnya.
“Ini menjadi pengalaman seumur hidup bagi saya. Yang biasanya saya sehari-hari menetap di rumah yang bisa dibilang kelengkapan super komplit, kini harus hidup dalam ruangan kecil, dan serba terbatas,” ucapnya.
Belajar Merajut
Namun ia mencoba santai. Hiburannya adalah para tamu yang mengalir berkunjung. Keluarga, sahabat, teman dan rekan-rekannya yang lain. Dukungan mereka, membuat Sally lebih kuat, meski kerap dilanda kecemasan ketika teringat akan anaknya.
“Anakku, mama yang jaga. Dan saya kangen,” kata Sally dengan berlinang air mata.
Lebih dari 10 hari di Lapas Tarakan, perlahan Sally mulai menguasai keadaan. Dia mulai terbiasa hidup tanpa AC (air conditioner) maupun sekadar kipas angin, juga televisi. “Di sini nggak bisa pakai kipas. Kalau ketahuan diambil. Karena biasanya razia petugas,” jelas istri ke-4 dengan status siri pengusaha Tarakan itu.
Dia pun mulai mengisi waktu dengan berbagai macam kegiatan, salah satunya merajut. Ia pun sudah bisa membuat kopiah, dompet, dan topi dari benang rajut.
“Saya dulunya nggak bisa merajut. Tapi di sini saya bisa membuat kopiah dengan merajut hanya menggunakan dua benang saja. Dan untuk bisa membuat kopiah cukup sehari saja,” katanya.
Hasil rajutan biasanya dijual ke para pengunjung. Satu buah kopiah rajut, mereka hargai Rp 35ribu. Uang hasil penjualan biasanya dibagi-bagi. Bahkan, dengan keahlian yang didapatnya di Lapas itu, Sally bisa membuat topi khusus untuk anak gadisnya.
“Saya sudah bisa membuat topi untuk anak saya, dan sudah saya kasihkan saat dia datang menjenguk,” ucap Sally mengingat masa-masa bertemu dengan anaknya.
Untuk diketahui, Sally divonis lima tahun penjara dalam kasus pembunuhan terhadap anaknya sendiri tahun lalu. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu tujuh tahun penjara.
Hakim membeberkan jika Sally mengalami gangguan psikologis hingga tega melakukan tindakan di luar kewajaran. Sally menaruh anaknya di dalam kulkas di rumahnya selama tiga hari.
Selanjutnya memindahkan anak yang telah membeku itu, ke freezer di lokasi pencucian motor miliknya di Kelurahan Kampung Satu selama tiga bulan. Agustus 2017, kejadian itu terbongkar setelah adanya laporan warga sampai ke kepolisian.
(est/JPC)
0 Response to "Melihat Kehidupan Sally di Bui, Ibu yang Bekukan Bayinya di Freezer"
Posting Komentar